Selasa, 16 Februari 2016

ABU DZAR AL GHIFARI



ABU DZAR AL GHIFARI
Abu Dzar Al Ghifari tergolong sahabat Rasulullah SAW yang unik. Nama asalnya Jundub bin Junadah. Dia berasal dari Suku Ghifar di bukit Waddan, dekat Kota Mekkah, dan besar dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang sangat memuja berhala. Namun, sejak kecil dan belum mengenal Islam, dia sudah menjadi penentang pendewaan terhadap berhala. Alasannya, menyembah berhala merupakan kepercayaan yang tidak masuk akal. Berhala hanyalah batu-batu besar hasil pahatan tangan manusia yang dijadikan Tuhan. Menurutnya, tidak mungkin benda mati itu setiap saat bisa menolong para penyembahnya.
Abu Dzar termasuk pemuda pemberani, cerdas dan berpandangan jauh. Di pinggangnya selalu tergantung sebuah pedang panjang yang tajam untuk merampok. Dia pertama kali bersentuhan dengan nama Islam ketika mendengar kabar bahwa di Mekkah ada seorang pria yang mengaku dirinya nabi. Dia berharap, pria itu kelak bisa mengubah hati, pikiran, kepercayaan, dan jalan hidup sukunya dari lorong kegelapan, terutama untuk dirinya. Dia kemudian meminta Anis, adiknya, untuk segera pergi ke Mekkah, mencari kebenaran berita itu. Anis mengikuti perintah kakaknya dan dapat berjumpa Rasulullah.

Selang beberapa hari, Anis kembali ke kampungnya. Dia menyampaikan kepada Abu Dzar apa yang dilihat dan didengarnya di Mekkah. Anis menyimpulkan, pria yang ditemuinya adalah sosok yang rendah hati, bersahaja, dan kalimat yang meluncur dari mulutnya bukanlah puisi atau syair yang dibuat manusia. Mendengar hal tersebut, Abu Dzar sangat tertarik dan memutuskan untuk melihat sendiri ke Mekkah. Tetapi, Anis memperingatkannya untuk berhati-hati terhadap orang Mekkah yang membenci pria bernama Muhammad itu.

Abu Dzar Tidur di Dekat Kabah

Di Mekkah, karena tak memiliki tempat tinggal dan tidak ada saudara, Abu Dzar memilih tidur di dekat Kabah yang lapang. Dia tidak tahu jika tempat itu menjadi tempat peribadatan kaum muslim. Suatu malam, ketika tengah tertidur, Ali bin Abi Thalib berjalan melewatinya. Menyadari orang yang dilaluinya orang asing, Ali membangunkan dan mengajaknya menginap di rumahnya. Abu Dzar menuruti derap langkah kaki Ali, tanpa menanyakan nama atau identitas orang yang telah berbaik hati kepada dirinya.
Keesokan hari, Abu Dzar kembali ke lingkungan Kabah, mencari tahu orang yang bernama Muhammad. Anehnya, dia tidak berkata atau bertanya kepada siapapun. Alhasil, hingga sinar matahari menghilang dan berganti cahaya rembulan, dia tidak bertemu Muhammad. Rupanya dia tidak putus asa. Malamnya, dia kembali tidur di dekat Kabah. Ali bin Abi Thalib yang melihatnya kali kedua kembali mengajaknya menginap di rumahnya. Meski demikian, keduanya tidak berbicara satu huruf pun.
Esok harinya, Abu Dzar kembali lagi ke pelataran Kabah. Misi utama dan caranya sama seperti hari kemarin. Lagi-lagi usahanya kandas dan dia tidur di dekat Kabah. Ali bin Abi Thalib yang mengetahui ketiga kalinya, saat itu tidak mengajaknya menginap di rumahnya. Ali menanyakan jatidiri dan tujuannya datang ke Mekkah. Abu Dzar pintar, dia terlebih dahulu memberikan persyaratan kepada Ali supaya Ali mau membantu agar harapannya terwujud. Ali menyepakati. Abu Dzar menyatakan, dirinya ingin bertemu Muhammad, seorang nabi. Mendengar hal tersebut, seketika wajah Ali berubah cerah. Akhirnya malam itu Abu Dzar tidur di rumahnya. Perasaannya sungguh gembira, sampai tak dapat memejamkan mata hingga mentari pagi menjemputnya.

Abu Dzar Bertemu Rasulullah SAW

Hari beranjak siang. Ali bin Abi Thalib menepati janjinya. Dia mempertemukan Abu Dzar dengan Rasulullah. Betapa berbinarnya wajah Abu Dzar. Senyumnya tak henti-henti mengembang. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih kepada Ali. Dia menceritakan keadaan diri dan kampungnya di hadapan Rasulullah. Rasulullah lantas membacakan beberapa ayat Al-Quran. Beberapa menit berikutnya, Abu Dzar mengucapkan dua kalimat syahadat dan telah menjadi seorang muslim.

Sejarah Islam mencatat, Abu Dzar termasuk salah satu sahabat yang pertama kali masuk Islam. Setelah itu, dia menetap bersama Rasulullah di Mekkah. Dia belajar Islam dan Al-Quran dengan penuh semangat. Rasulullah meminta Abu Dzar untuk tidak mengumumkan keyakinan barunya kepada orang Quraisy. Hal ini dikhawatirkan dia akan mendapat ancaman, teror dan siksaan dari mereka. Namun mengingat wataknya yang keras, Abu Dzar menegaskan: ”Demi Allah yang ditangan-Nya nyawaku berada, aku tidak akan meninggalkan Mekkah sampai aku pergi menuju Kabah dan menyatakan kebenaran kepada bangsa Quraisy.” Rasulullah diam saja.

Abu Dzar Mengislamkan Dua Suku

Pernyataan Abu Dzar di hadapan Rasulullah rupanya bukan sekadar gertak sambal. Di tengah kerumunan warga Quraisy di dekat Kabah, dia berani memproklamirkan dirinya telah bersyahadat. Mendengar hal itu, mereka menjadi sangat marah. Seketika beramai-ramai memukuli Abu Dzar dan bermaksud membunuhnya. Beruntung, paman Rasulullah bernama Abbas bin Abdul Muttalib berhasil menyelematkannya. Menurut Abbas, daerah asal Abu Dzar adalah kawasan yang sering dilewati rombongan dagang penduduk Quraisy. Daripada nanti orang-orang di kampungnya membalas tindakan ini, tambah Abbas, sebaiknya Abu Dzar dibebaskan.

Setelah mendengar laporan peristiwa tersebut, Rasulullah menyarankan supaya Abu Dzar kembali ke tanah kelahirannya. Abu Dzar diminta menyebarkan apa yang pernah diajarkan Rasulullah. Kali ini Abu Dzar patuh. Ketika sudah sampai rumah, dia terkejut campur gembira, lantaran adiknya sudah beralih ke agama Islam. Kakak beradik itu lantas mengajak Ibunya segera bersyahadat. Perjuangannya dalam berdakwah tidak sia-sia. Dalam tempo cepat, seluruh saudara dan warga Suku Ghifar yang hidup serba kekurangan serta Suku Aslam –kampung tetangganya– sudah mengakui kenabian Muhammad dan Tuhannya bukan lagi berhala, melainkan Allah SWT.

Abu Dzar kembali menemui Rasulullah. Dia meminta izin untuk melayani dan selalui menemani Rasulullah. Permintaannya dikabulkan. Dia senang bukan kepalang. Lelaki jujur dan setia itu pun ikut hijrah (pindah) bersama Rasulullah ke Madinah. Beberapa waktu setelah Rasulullah wafat, dia pindah ke Suriah, menetap di Damaskus, lalu kembali lagi ke Madinah. Dia sangat prihatin dan memprotes melihat perilaku orang Islam yang senang bermewah-mewahan. Menurut Abu Dzar, kehidupan mereka sudah melenceng dari ajaran dan gaya hidup Rasulullah.

Sementara itu, Abu Dzar hidup mulia dalam kesederhanaan dan lebih memikirkan kehidupan akhirat. Di rumahnya tidak ada barang berharga apapun. Tetapi tidak sedikit orang yang menghormatinya. Satu waktu, dia pernah dikasih uang banyak oleh seorang pejabat tinggi negara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, uang itu segera dikembalikan dan menyarankan kepada pejabat agar memberikannya kepada orang yang lebih membutuhkan darinya. Abu Dzar Al Ghifari meninggal dunia pada tahun 32 hijriyah, tanpa mewariskan harta satu dirham pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar