Asal-Usul Munculnya Aliran-Aliran
Dalam Ilmu Kalam
Sejak wafatnya Nabi Muhammad saw,
kaum muslimin sudah mulai menghadapi perpecahan. Tetapi perpecahan itu menjadi
reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah. Setelah beberapa lamanya
Abu Bakar menduduki jabatan kekhalifahan, mulai tampak kembali perpecahan yang
disebarkan oleh orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang
mengumumkan dirinya menjadi nabi, seperti Musailamatul Kadzdzab, Thulalhah,
Sajah dan Al-Aswad Al-Ansy. Di samping itu ada pula kelompok-kelompok lain yang
tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal dahulunya mereka semua taat
dan disiplin membayar zakat pada Nabi. Akan tetapi semua perselisihan itu
segera dapat diatas dan dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan Khalifah Abu
Bakar. Maka selamatlah kekuasaan Islam yang muda Itu dari ancaman fitnah dari
musuh-musuh Islam yang hendak menghancur-leburkannya.
Kemudian perjalanan kekhalifahan Abu
Bakar As-shiddiq, Umar ibnu Khattab, dan Utsman Ibnu Affan tidak begitu
menghadapi persoalan, bahkan terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab. Pada
masa ketiga khalifah itulah, dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya mengerahkan
semua tenaga kaum muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam ke seluruh
pelosok penjuru dunia. Tetapi setelah Islam meluas ke Afrika, Asia Timur bahkan
Asia Tenggara tiba-tiba diakhir Khalifah Utsman, terjadi suatu persoalan yang
ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang oleh sebagian orang Islam dianggap kurang
mendapat simpati dari sebagian kaum muslimin.
Kebijakan khalifah Utsman bin Affan
yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu, diantaranya
ialah kurang pengawasan dan pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting
dalam pemerintahan, sehingga para pelaksana pemerintahan (para eksekutif) di
lapangan tidak bekerja secara maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap
nepotisme dari keluarganya. Utsman banyak menempatkan para pejabat tersebut
dari kalangan keluarganya, sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat
Islam. Dan sebenarnya hal Ini adalah bisa dimaklumi karena memang keluarga
Usman bin Affan adalah keluarga orang-orang yang pandai. Namun Inilah
bermulanya fitnah yang membuka kesempatan orang-orang yang berambisi untuk
menggulingkan pemerintahan Utsman.
Karena derasnya arus fitnah ini
sehingga mengakibatkan terbunuhnya Sayyidina Utsman bin Affan . Setelah itu
maka Ali bin Abi Thalib terpilih dan diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam
pengangkatan tidak memperoleh suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak
menyetujui pengangkatan itu. Bahkan ada yang dengan terang-terangan menentang
pengangkatan tersebut sekaligus menuduh bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya
membiarkan komplotan pembunuhan terhadap Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya
perpecahan umat Islam, hingga menjadi beberapa partai atau golongan.
Diantaranya sebagai berikut :
Kelompok yang setuju atas
pengangkatan Ali menjadi khalifah.
Kelompok yang pada awalnya patuh dan
setuju, tetapi kemudian setelah terjadi perpecahan, menjadi golongan yang
netral. Mereka berpendidikan, tidak mau mengikuti taat pada Ali, tidak pula
memusuhinya Ali. Karena mereka berkeyakinan bahwa keberpihakan kepada salah
satu dari dua golongan tersebut tidak berakibat baik.
Kelompok yang jelas-jelas menentang
Ali secara terbuka, yaitu Thalhah bin Abdullah, Zubir bin Awam, Aisyah binti
Abu Bakar. Semuanya ini bersatu dan sepakat menjadikan Aisyah sebagai komandan
untuk menggulingkan khalifah Ali. Mereka menyusun tentara, lalu menduduki
Basrah. Pegawai-pegawai Ali di Basrah dibunuh, perbendaharaan dirampas. Sebab
itu Ali pun dengan membawa pasukan yang dipimpinnya sendiri menuju Basrah, dan
akhirnya terjadilah pertempuran hebat. Thalhah dan Zubir terbunuh. Aisyah
tertangkap dan dipulangkan ke Madinah. Peperangan ini dinamai peperangan Jamal
(unta), sebab Aisyah memimpin pertempuran itu dari atas unta. Dari tentara
Aisyah banyak yang melarikan diri dan menggabungkan diri dengan tentara
Mu’awiyah di Syam, yang same-sama menentang Ali. Terjadinya peperangan antara
Mu’awiyah dan Ali, hingga pertempuran Shiffin, yaitu perang terakhir antara Ali
dan Mu’awiyah.
Ada golongan umat Islam yang
memisahkan diri dari tentara Ali. Golongan
ini yang kita kenal dengan kaum Khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan
senjata dan perundingan antara Ali dengan Mu’awiyah. Mereka ini dihancurkan pula
oleh Ali, sehingga cerai-berai. Sebenarnya Khawarij ini pada mulanya sungguh-
sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam
mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi
mereka memisahkan diri dari kedua-dua kelompok tersebut. Ia merasa mempunyai
hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-
alasan itulah, Khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
ini yang kita kenal dengan kaum Khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan
senjata dan perundingan antara Ali dengan Mu’awiyah. Mereka ini dihancurkan pula
oleh Ali, sehingga cerai-berai. Sebenarnya Khawarij ini pada mulanya sungguh-
sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam
mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi
mereka memisahkan diri dari kedua-dua kelompok tersebut. Ia merasa mempunyai
hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-
alasan itulah, Khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
Demikianlah golongan-golongan
politik yang timbul di masa Khalifah AIi-Kemudian sesudah Ali, timbullah
beberapa kelompok atau aliran ilmu kalam (aliran tentang aqidah) yang diakibatkan
oleh timbulnya golongan-golongan politik tersebar di atas, yaitu:
1.
Syi’ah
Golongan ini sangat fanatik
kepada, khalifah Ali bin Abi Thalib dan, keturunannya. Mereka berkeyakinan
tidak seorangpun yang berhak memegang, menduduki jabatan kekhalifahan kecuali
dari keturunan Ali. Jika orang yang mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali,
berarti merampas hak kekuasaan dan kekhalifahannya tidak syah. Tetapi akhirnya
golongan ini dimasuki pula oleh unsur-unsur yang menyimpang dari pokok-pokok agama
Islam.
2.
Qadariyah
Golongan Qodariyah, pokok
pemikirannya adalah bahwa usaha dan gerak perbuatan manusia ditimbulkan
sendiri, bukan dari Allah. Faham ini, mula-mula dianjurkan oleh Ma’bad
Al-Juhainy, Ghailan al-Dimasyqi dan Al-Ja’du bin Dirham. Ketiga tokoh ini hidup
pada zaman Daulah Umaiyah dan ketiganya mati terbunuh.
3.
Jabariyah
Golongan ini muncul di Khurasan,
yang dipelopori oleh Al-Jaham bin Shafwan la berpendapat bahwa hidup manusia
ini sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala. Segala gerak-geriknya dijadikan Tuhan
semata-mata, manusia tidak dapat berusaha dan menggerakkan dirinya. Mereka juga
meniadakan sifat-sifat Allah Ta’ala. “Kita tidak boleh menyifati Allah Ta’ala,
dengan suatu sifat yang bersamaan dengan sifat-sifat yang terdapat pada
makhluknya”. Pemimpin golongan ini, akhirnya terbunuh juga di Khurasan.
4.
Murjiah
Golongan Murji’ah berpendapat, bahwa
kemaksiatan tidaklah menghilangkan keimanan atau tidak memberi bekas terhadap
keimanan seseorang, sebagaimana ketaatan, tidak memberi pengaruh kepada orang
yang kafir.
5.
Karamiyah
Golongan
ini berpendapat, bahwa yang diwajibkan kepada setiap muslim hanyalah pengakuan
lisan saja atas kebenaran rasul. Artinya cukuplah seseorang dengan mengucapkan
dua kalimat syahadat saja, sekalipun tanpa amal dan tanpa tashdiq di hati.
6.
Khawarij
Golongan ini pada mulanya adalah
pengikut setia Khalifah Ali, namun mereka memisahkan diri akibat tidak setuju
dengan kebijakan khalifah menerima perdamian dengan Mu’awiyah pada saat perang
Siffin. Mereka berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, atau
meninggalkan kewajiban-kewajiban yang sampai mati belum sempat tobat, maka
orang itu dihukumkan keluar dari Islam dan menjadi kafir. Jadi mereka abadi
dalam neraka.
7.
Mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah ini salah satu
pokok pikirannya adalah, bahwa orang Islam yang mengerjakan dosa besar, atau
meninggalkan kewajiban-kewajiban, yang sampai matinya belum sempat bertobat,
maka orang itu dihukum keluar dari Islam, tetapi tidak menjadi kafir, hanya
fasiq saja, namun menurutnya orang fasiq akan abadi di neraka.
8.
Ahli Sunah wal Jama’ah
Kelompok ini biasa menyebut dirinya
Islama Aswaja. Pemahaman mereka ialah bahwa yang dihukumkan dengan orang
Islam, ialah orang yang memenuhi tiga syarat, yaitu : menuturkan dua kalimat
syahadat dengan lisan, dan diikuti dengan kepercayaan hati dan buktikan dengan
amal. Menurut Ahli Sunah wal Jama’ah, bahwa orang yang mengerjakan dosa besar
atau mengingkari kewajiban-kewajiban yang diperihtahkan Allah sampai mati tidak
sempat tobat, dihukumkan sebagai mukmin “yang melakukan maksiat. Hukumnya di
akhirat kelak, bila tidak memperoleh ampunan dari Allah akan masuk neraka untuk
menjalani hukumannya. Sesudah menjalani azab dan hukumnya itu, ada harapan
mendapat kebebasan dan masuk surga.
Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam
Sebagaimana kita bahas di atas,
bahwa pada masa akhir pemerintahan Khulafa al-Rasyidin muncul aliran kalam yang
popular dengan nama Khawarij, kemudian diikuti oleh Murji’ah, Qadariyah dan
Jabariyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marl kita
telisik satu persatu sehingga kita dapat memahami pandangan-pandangan mereka
dengan benar.
1.
Aliran Syi’ah
Syi’ah adalah golongan yang
menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara berlebih-lebihan. Karena mereka
beranggapan bahwa Ali yang lebih berhak menjadi khalifah pengganti Nabi
Muhammad SAW, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah seperti Abu
Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab dan Utsman Bin Affan dianggap sebagai penggasab
atau perampas khilafah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa mulai
timbulnya fitnah di kalangan ummat Islam biang keladinya adalah Abdullah Bin
Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam. Pitnah tereebut cukup
berhasil, dengan terpecah-belahnya persatuan ummat, dan timbullah Syi’ah
sebagai firqoh pertama :
Sebenarnya Syi’ah bermula dari
perjuangan politik yaitu khilafah, kemudian berkembang menjadi agama. Adapun
dasar pokok Syi’ah ialah tentang Khalifah, atau sebagaimana mereka menamakannya
Imam. Maka Sayyidina Ali adalah iman sesudah Nabi Muhammad SAW. Kemudian
sambung-bersambung Imam itu menurut urutan dari Allah. Beriman kepada imam, dan
taat kepadanya merupakan sebagian dari iman. Iman menurut pandangan Syi’ah
bukan seperi. pandangan Golongan Ahlus Sunnah. Menurut golongan Ahlus Sunnah,
khalifah atau imam adalah wakil pembawa syari’at (Nabi) dalam menjaga agama.
Dia mendorong manusia untuk beramal apa yang diperintahkan Allah. Dia adalah
pemimpin kekuasaan peradilan, pemerintahan dan peperangan. Akan tetapi baginya
tidak ada kekuasaan di bidang syari’at, kecuali menafsirkan sesuatu atau
berijtihad tentang sesuatu yang tidak ada nashnya.
Adapun menurut golongan Syi’ah, imam
itu mempunyai pengertian yang
lain, dia adalah guru yang paling besar. Imam pertama telah mewarisi macam-
macam ilmu Nabi SAW. Imam bukan manusia biasa, tetapi manusia luar biasa,
karena dia ma’shum dari berbuat salah. Di sini ada dua macam ilmu yang dimiliki
imam yaitu; ilmu lahir dan ilmu batin. Sungguh Nabi SAW telah mengajarkan Al-
Qur’an dengan makna batin dan makna lahir, mengajarkannya rahasia-rahasia
alam dan masalah-masalah ghaib. Tiap imam mewariskan perbendaharaan ilmu-
ilmu kepada imam sesudahnya. Tiap imam mengajar manusia pada waktunya
sesuatu rahasia-rahasia (asrar) yang mereka mampu memahaminya. Oleh karena
itulah imam merupakan guru yang paling besar. Orang-orang Syi’ah tidak percaya
kepada ilmu dan hadits, kecuali yang diriwayatkan dari imam-imam golongan
Syi’ah sendiri.
lain, dia adalah guru yang paling besar. Imam pertama telah mewarisi macam-
macam ilmu Nabi SAW. Imam bukan manusia biasa, tetapi manusia luar biasa,
karena dia ma’shum dari berbuat salah. Di sini ada dua macam ilmu yang dimiliki
imam yaitu; ilmu lahir dan ilmu batin. Sungguh Nabi SAW telah mengajarkan Al-
Qur’an dengan makna batin dan makna lahir, mengajarkannya rahasia-rahasia
alam dan masalah-masalah ghaib. Tiap imam mewariskan perbendaharaan ilmu-
ilmu kepada imam sesudahnya. Tiap imam mengajar manusia pada waktunya
sesuatu rahasia-rahasia (asrar) yang mereka mampu memahaminya. Oleh karena
itulah imam merupakan guru yang paling besar. Orang-orang Syi’ah tidak percaya
kepada ilmu dan hadits, kecuali yang diriwayatkan dari imam-imam golongan
Syi’ah sendiri.
Apabila berpadu pada kekuasaan
khalifah urusan agama dan politik.
maka perselisihan antara golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya
adalah bercorak agama dan politik. Inti ajaran Syi’ah adalah berkisar masalah
khilafah. Jadi masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan
masalah-masalah agama. Ajaran-ajarannya. yang terpenting yang berkaitan
dengan khilafah ialah Al’ Ishmah, Al Mahdi, At Taqiyyah dan Ar Raj’ah.
maka perselisihan antara golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya
adalah bercorak agama dan politik. Inti ajaran Syi’ah adalah berkisar masalah
khilafah. Jadi masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan
masalah-masalah agama. Ajaran-ajarannya. yang terpenting yang berkaitan
dengan khilafah ialah Al’ Ishmah, Al Mahdi, At Taqiyyah dan Ar Raj’ah.
Menurut keyakinan golongan Syi’ah bahwa
imam-imam mereka itu sebagaimana para nabi adalah bersifat Al Ishmah atau
ma’shum dalam segala tindak lakunya, tidak pernah berbuat dosa besar
maupun kecil, tidak ada tanda berlaku maksiat, tidak boleh berbuat salah
ataupun lupa. Hal itu didasarkan :
1.
Apabila imam boleh berbuat salah, maka akan membutuhkan kepada imam lain untuk
memberikan petunjuk, demikian seterusnya. Oleh karena itu imam tidak boleh
salah, dengan perkataan lain hams ma’shum. Lawan-lawan golongan Syi’ah menolak
ajaran tersebut dengan alasan bahwa kebutuhan terhadap imam itu bukan karena
kemungkinan masyarakat berbuat salah, akan tetapi karena fungsi imam itu
sendiri sebagai pelaksana hukum, menolak kerusakan dan memelihara kesucian
agama. Tidak ada kebutuhan dalam tugas itu tentang ma’shumnya imam, tetapi
cukup dengan ijtihad dan berlaku adil.
2.
Imam itu adalah pemelihara syari’at, oleh karena imam harus ma’shum. Kalau
tidak demikian maka niscaya membutuhkan pemelihara yang lain. Lawan-lawan
mereka menoiaknya dengan alasan bahwa imam itu bukan pemelihara syari’at,
tetapi sebagai pelaksana syari’at. Adapun pemelihara syari’at ialah para ulama.
Aliran-aliran Syi’ah ada yang
moderat dan ada yang radikal. Zaidiyah merupakan aliran yang paling dekat
Sunni, bahkan menolak faham Al-Mahdi dan Ar Raj’ah yang menjadi
keparcayaan umum aliran-aliran Syi’ah.
Syi’ah Az Zaidiyah adalah pengikut
Zaid Bin Ali Bin Husain Bin Ali Bin Abi Thalib. Syi’ah Az Zaidiyah ini adalah
firqoh Syi’ah yang paling dekat (tidak banyak menyimpang) kepada Aldus Sunnah
dan yang paling lurus. la tidak mengangkat imam-imamnya sampai pada martabat
kenabian, bahkan juga tidak mengangkatnya ke martabat yang mendekatinya, tetapi
mereka menganggap imam-imam seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka
adalah seutama-utama orang sesudah Rasulullah SAW. Mereka tidak mengkafirkan
seorang pun di antara sahabat-sahabat Nabi dan terutama orang (Abu Bakar, Umar
dan Utsman, pen) yang dibai’at oleh Ali dan mengakui keimanannya.
Aliran Zaidiyyah menolak faham Al
Mahdi : “Aliran Zaidiyyah adalah sebagian dari aliran-aliran dalam Syi’ah, yang
sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran Mu’tazilah, karena Zaid pemimpin aliran
Zaidiyyah ini pernah berguru kepada Washil Bin Atho’, pemimpin Mu’tazilah.
Mereka sangat mengingkari sekali terhadap faham Al Mahdi dan Raj’ah, dan dalam
kitab-kitabnya mereka menolak hadits-hadits dan cerita-cerita yang berhubungan
dengan hal tersebut.
Syi’ah Ghaliyah atau Ashabu
I-Ghulat, golongan Syi’ah yang ajaran-ajarannya telah melampaui batas
(ekstrim). Mereka ada yang berpendapat bahwa imam-imam mereka mempunyai
unsur-unsur ketuhanan. Ada pula yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya.
Kepercayaan tersebut adalah pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan inkarnasi, reinkamasi,
ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen. Agama Yahudi menyerupakan Tuhan dengan
makhluk-Nya, sedangkan agama Kristen menyerupakan makhluk dengan Tuhannya.
Di antara aliran-aliran Al Ghaliyah
yang keterlaluan ialah As Saba’iyah, Al ‘Al’Alba’iyah dan Al Khattabiyah.
Aliran As Sabai’yah adalah pengikut Abdullah Bin Saba’, orang Yahudi dari
Yaman, yang pura-pura masuk Islam. Aliran Saba’iyah inilah yang pertama kali
menyatakan ajaran tentang gaibnya imam, raj’ah, menitis (hulul)-nya sifat
ketuhanan kepada imam, dan berpindah (tanasukh)-nya sifat ketuhanan dari
seorang imam kepada imam berikutnya.
Aliran Al Khattabiyah, pengikut Abil
Khattab Muhammad Bin Abi Zainab Bani Asad. Setelah dia meninggal, diganti Mu’amar
mempunyai ajaran-ajaran yang berlebih-lebihan. Mereka beranggapan bahwa
dunia itu tidak akan rusak. Sesungguhnya surga ialah keadaan yang manusia
mendapatkan kebaikan, kenikmatan dan kesehatan. Dan sesungguhnya neraka ialah
keadaan yang manusia mendapatkan keburukan, kesulitan dan bencana. Mereka menghalalkan
khamer, zina, dan semua hal yang diharamkan. Dan mereka selalu meninggalkan
shalat dan fardlu-fardlu lainnya.
Kini, Syi’ah dengan berbagai bentuk
alirannya, masih tersebar cukup luas. Di Iran, Syi’ah merupakan mazhab resmi
negara. Di samping itu, Syi’ah terdapat juga di Irak, Pakistan, India dan
Yaman. Monument yang tidak boleh dilupakan yang merupakan jasa Syi’ah, ialah
Universitas Al Azhar Mesir, didirikan pada tahun 359 H = 970 M, oleh Khalifah Al
Muiz Lidinillah, dari Bani Fathimiyah. Semula, di Universitas Al Azhar ini
adalah untuk mencetak kader-kader Syi’ah, pejabat-pejabat penting pemerintah.
Namun, bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Bani Fathimiyah dengan khalifah
terakhirnya Al ‘Azid Lidinillah pada tahun 555 H = 1160 M, maka corak
Universitas Al Azhar yang semula berfaham Syi’ah, berganti berfaham Sunni sampai
sekarang.
2.
Lahirnya Aliran Khawarij
Khawarij ini merupakan suatu aliran
dalam kalam yang bermula dari sebuah kekuatan politik. Dikatakan khawarij
(orang-orang yang keluar) karena mereka keluar dari barisan pasukan Ali saat
mereka pulang dari perang Siffin, yang dimenangkan oleh Mu’awiyah melalui tipu
daya perdamaian. Gerakan exodus itu, mereka lakukan karena tidak puas dengan
sikap Ali menghentikan peperangan, padahal mereka hampir memperoleh kemenangan.
Sikap Ali menghentikan peperangan tersebut, menurut mereka, merupakan suatu
kesalahan besar karena Mu’awiyah adalah pembangkang, sama halnya dengan Thalhah
dan Zutair. Oleh sebab itu tidak perlu ada perundingan lagi dengan mereka. dan
Ali semestinya meneruskan peperangan sampai para pembangkang itu hancur dan
tunduk.
Kemudian orang-orang Khawarij mulai
mengafirkan siapa saja yang dianggap melakukan kesalahan, seperti Utsman bin
Affan yang melakukan kesalahan karena mengubah sistem politiknya sehingga
menimbulkan huru-hara. Kemudian Thalhah. Zubair dan Mu’awiyah yang melakukan
pembangkangan terhadap Ali bin Abi Thalih sebagai khalifah yang sah. Dan Ali
bin Abi Thalib sendiri yang melakukan kesalahan karena menghentikan pertempuran
dalam perang Siffin, ketika menaklukkan mu’awiyah yang tidak mau bai’at
kepadanya.
Pada awalnya tuduhan kafir tersebut
dilontarkan mereka kepada Mu’awiyah, Amru bin Ash, Ali bin Abi Thalib dan Abu
Musa al-Asy’ari, yang keempatnya ini pelaku utama proses tahkim (damai) untuk
mengakhiri peperangan. Namun, tahkim tersebut menurut orang-orang khawarij
tidak sesuai dengan ketentuan ajaran agama, karena Mu’awiyah adalah pembangkang
yang seharusnya diperangi sampai hancur dan tunduk. Dengan demikian, jalan
terakhir tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum Allah, dan barang siapa
menetapkan sesuatu dengan ketentuan yang tidak sesuai dengan hukum Allah
tergolong orang-orang kafir, sebagaimana dikemukakan dalam surah al-Maidah ayat
44 yang
Artinya:
“Barang siapa yang tidak menentukan
hukum dengan apa yang diturunkan oleh
Allah adalah kafir”.
Allah adalah kafir”.
Kemudian sebagaimana telah
dikemukakan di atas, bahwa pada akhirnya mereka mengafirkan orang-orang yang
melakukan kesalahan (dosa) besar, karena tidak mengikuti hukum Allah juga
termasuk suatu kesalahan besar. Kendati semua yang mereka kafirkan itu adalah
para pelaku pilitik yang menuntut pandangannya melakukan kesalahan besar dengan
tidak mengikuti norma agama sesuai Al-Qur’an, namun demikian mereka juga
mengafirkan para pelaku dosa besar di luar politik, bahkan lebih jauh mereka
mengafirkan orang-orang yang tidak sependapat dan tidak sealiran dengan mereka.
Akhirnya semakin banyak konflik dan pertempuran akibat pemikiran teologinya
itu, sehingga Ali bin Abi Thalib penguasa sah saat itu menyerang mereka dan
menghancurkannya tahun 37 H. Akan tetapi salah seorang dari mereka ada yang
selamat dan membunuh Ali bin Abi Thalib tahun ke-40 H.
Walaupun telah dihancurkan Ali bin
Abi Thalib tahun ke-37 H, namun sisa-sisa kekuatan mereka masih terus bergerak
dan berhasil menghimpun kekuatan lagi, sehingga terus melakukan gerakan oposisi
terhadap daulah Umayah. Akan tetapi, kelompok ini rentan sekali sehingga mudah
pecah, dapat dihancurkan kembali oleh Banu Umayah pada tahun 70 H. Sisa-sisanya
dari sub sekte Ibadiyah (sebutan sub sekte Khawarij yang sangat moderat) sampai
kink masih ada di Sahara Al-Jazair, Tunisia, Pulau Zebra, Zanzibar,
Omman dan Arabia Selatan, dan tidak melakukan perlawanan politik apa-apa
terhadap penguasa yang sah.
Sesuai dengan uraian diatas, make
pemikiran kalam aliran khawarij yang paling menonjol adalah tentang pelaku dosa
besar yang menurut mereka tergolong orang kafir, dan termasuk pada kategori
dosa besar adalah sikap menentang terhadap pemikiran khawarij sehingga
orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka tergolong kafir.
Di samping itu, mereka mempunyai
pemikiran yang khas tentang definisi iman. Yakni menurut mereka iman itu adalah
meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.
Sejalan dengan definisinya ini, maka orang-orang yang tidak
mengamalkan ajaran agamanya, atau melakukan pelanggaran dalam kategori dosa
besar, termasuk kufur, karena amal mempengaruhi iman.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran
aliran ilmu kalam mereka dapat disimpulkan sbb :
1)
Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah termasuk Kafir
2)
Orang yang terlibat perang Jamal yakni perang antara Ali dan Aisyah dan
pelaku arbitrase antara Ali dan Mua’awiyah dihukum Kafir
pelaku arbitrase antara Ali dan Mua’awiyah dihukum Kafir
3)
Kholifah menurut mereka tidak harus keturunan Nabi atau suku quraisy
Mempercayai bahwa muhamad bin hanafiah
sebagai pemimpin setelah husein Ali wafat
A. Nama
kausaniyah diambil dari nama kaisan yaitu nama budak Ali Bin Abuthilib.
Mesikpun sekte(organisasi) ini punah, cerita kebesaran muhamad bin hanafiah
dapat di jumpai dalam cerita rakyat, hikayat ini terkenal sejak abad 15 M di
malaka.
B. Saidiyah
: Yaitu sekte ini mengakui ke kalifahan Abu bakar & Umar sekte syi’ah
mempercayai bahwa Zaed Bin Ali Bin Husein Zaenal Abidin merupakan peimpin
setelah husein bin Ali wafat. Dalam sekte ini ada 5 syarat untuk dapat di
angkat sebagai pemimpin. Yaitu :
1.
Berasal dari keturunan Fatimah Binti Muhammad
2.
Berpengetahuan luas tentang agama
3.
Hidupnya untuk beribadah
4.
Jihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata
5.
Berani
C. Sekte
Imamiyah : yaitu sekte Syi’ah yang menunjukan langsung Ali Bin Abitholib untuk
menjadi imam oleh rassulullah Sebagai pengganti beliau. Sehingga sekte
ini tidak mengakui Abu bakar dan Umar.sekte imamyah pecah menjadi 2 golongan,
yang terbesar yaitu:
1.
Isna Asy’ariah / Syi’ah dua 12
Ismailiyah
3.
Lahirnya Aliran Murji’ah
Sejak terjadinya ketegangan politik
di akhir pemerintahan Utsman bin Affan, ada sejumlah sahabat nabi yang tidak
mau ikut campur dalam perselisihan politik. Ketika selanjutnya terjadi salah
menyalahkan antara pihak pendukung Ali dengan pihak penuntut bela kematian
Utsman bin Affan, maka mereka bersikap “irja” yakni menunda putusan tentang
siapa yang bersalah. Menurut mereka, biarlah Allah saja nanti di hari akhirat
yang memutuskan siapa yang bersalah di antara mereka yang tengah berselisih
ini.
Selanjutnya mereka kaum khawarij
berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar itu menjadi kafir dan kelak
akan kekal dalam neraka, maka Kaum Murji’ah berpendapat bahwa mukmin yang
melakukan dosa besar tersebut masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa
tidak berubah menjadi kafir. Lalu apakah mereka akan masuk ke dalam neraka atau
surga, atau masuk neraka terlebih dahulu baru kemudian ke dalam surga, ditunda
sampai ada putusan akhir dari Allah. Disamping itu, khusus bagi para pelaku
dosa besar, mereka juga berharap agar mereka mau bertaubat, dan berharap pula
agar taubatnya diterima di sisi Allah SWT.
Karena penundaan semua putusan
terhadap Allah, serta senantiasa berharap Allah akan mengampuni dosa-dosa para
pelaku dosa besar tersebut, maka mereka ini kemudian populer disebut sebagai
golongan atau aliran “murji’ah” (orang yang mendapat putusan para pelaku dosa
besar sampai ada ketetapan dari Allah, sambil berharap bahwa Allah akan
mengampuni dosa-dosa mereka itu).
Pendirian Murji’ah di atas sangat
moderat, sehingga menjadi pendirian umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang
berbuat dosa besar. Mereka sendiri kemudian disebut sebagai penganut aliran
Murji’ah moderat. Akan tetapi pada akhir abad pertama dan awal abad kedua
hijrah, muncul orang-orang murji’ah ekstrim yang sangat meremehkan peran amal
perbuatan. Mereka selanjutnya berpendapat bahwa siapa saja yang meyakini
keesaan Allah dan ke-Rasulan Muhammad SAW, adalah orang beriman walaupun selalu
melakukan perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh dikatakan kafir kendati
sering melakukan ibadah di dalam gereja, karena keimanan itu ada dalam hati,
dan hanya dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh aliran murji’ah ekstrim ini
adalah Jaham bin Shafwan, Abu Hasan al-Shalih, Muqatil bin Sulaiman dan Yunus
al-Samiri.
Kaum murji’ah ekstrim ini banyak
memperoleh kecaman dari para ulama saat itu, dan tidak memperoleh pengikut,
serta akhirnya lenyap. Sedang murji’ah moderat kemudian menjadi pengikut aliran
Ahlus Sunrah wal Jama’ah.
Pemikiran yang paling menonjol dari
aliran ini adalah bahwa pelaku dosa besar tidak dikategori sebagai orang kafir,
karena mereka masih memiliki keimanan dan keyakinan dalam hati bahwa Tuhan
mereka adalah Allah, Rasul-Nya adalah Muhammad, serta Al-Qur’an sebagai kitab
ajarannya serta meyakini rukun-rukun iman lainnya.
Disamping itu, mereka berpendapat
bahwa iman itu adalah mengetahui dan meyakini atas ke-Tuhanan Allah dan
ke-Rasulan Muhammad. Mereka tidak memasukkan unsur amal dalam iman, sehingga
amal tidak mempengaruhi iman. Oleh sebab itu pulalah mereka berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tetap mukmin, dan tidak terkategori sebagai orang kafir
sebagaimana dinyatakan ajaran khawarij. Sedangkan dosanya harus mereka
pertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran
aliran ilmu kalam mereka dapat disimpulkan sbb:
1)
Pengakuan Iman Islam cukup di dalam hatinya saja dan tidak dituntut
membuktikan keimanan dengan perbuatan.
membuktikan keimanan dengan perbuatan.
2)
Selama seorang muslim meyakini dua kalimat syahadat apabila ia berbuat
dosa besar maka tidak tergolong kafir dan hukuman mereka ditangguhkan di
akhirat dan hanya Allah yang berhak menghukum
dosa besar maka tidak tergolong kafir dan hukuman mereka ditangguhkan di
akhirat dan hanya Allah yang berhak menghukum
4.
Lahirnya Aliran Qadariyah
Sebagaimana khawarij dan murji’ab,
aliran teologi qadariyah juga lahir dengan dilatarbelakangi oleh kegiatan
politik, yakni pada masa pemerintahan mu’awiyah bin Abu Sufyan, dari Daulah
Banu Umayah. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, tahun 40 H mu’wiyah menjadi
penguasa daulah islamiyah. Dan untuk memperkokoh kekuasaannya itu, dia
menggunakan berbagai cara, khususnya dalam menumpas semua oposisi, bahkan
mendiang Ali bin Abi Thalib dicaci maki dalam setiap kesempatan berpidato
termasuk saat berkhotbah Jum’at.
Para ulama yang shalil banyak yang
tidak setuju dengan gaya dan cara mu’awiyah, namun mereka tidak bisa berbuat
apa-apa. Untuk menutupi kesalahan itu, mereka mengembalikan semuanya kepada
Allah bahwa semua yang terjadi atas kehendak-Nya. Isu ini kemudian dimanfaatkan
pula oleh mu’awiyah dalam memimpin daulah islamiyah, bahwa semua yang dilakukan
itu atas kehendak Allah.
Dalam suasana inilah muncul Ma’bad
al-Jauhani dan Ghailan al-Damasyqi, dua tokoh pemberani yang melontarkan kritik
terhadap mu’awiyah sekaligus menentang pernyataan teologis yang membenarkan
tindakan politiknya. Menurut keduanya, manusia bertanggung jawab untuk menegakkan
kebenaran dan kebaikan serta menghancurkan kedhaliman. Manusia diberi Allah
daya dan kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan. Manusia juga diberi
kebebasan untuk memilih antara melakukan sesuatu kebaikan dan keburukan, dan
mereka harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya kelak di hari akhir.
Bila manusia memilih untuk melakukan
perbuatan baik, maka dia akan memperoleh pahala di sisi Allah dan akan
memperoleh kebahagiaan dalam hidup di akhiratnya kelak. Sedang mereka yang
memilih melakukan perbuatan buruk, akan memperoleh siksa dalam neraka. Manusia
tidak boleh berpangku tangan melihat kedzaliman dan keburukan. Manusia harus
berjuang melawan kedzaliman dan menegakkan kebenaran. Manusia bukanlah majbur
(dipaksa oleh Allah). Karena Ma’bad dan Ghailan ini mengajarkan bahwa manusia
memiliki qudrah untuk mewujudkan suatu perbuatan, maka fahamnya dinamakan faham
“qadariyah”.
Kemudian Ma’bab al-Jauhani ikut
menentang kekuasaan Bani Umayah dengan membantu Abdurrahman ibnu al-Asy’ats,
gubernur Syijistan yang memberontak melawan daulah Banu Umayah. Dalam suatu
pertempuran tahun 80H. Ma’bad al-Jauhani mati terbunuh. Sedang
temannya Ghailan al-Darmasqi terus menyirakan faham qadariyah itu, dengan
banyak melontarkan kritik terhadap Banu Umayah, dan sering keluar masuk
penjara, dan akhirnya dia menjalani hukuman mali pada masa pemerintahan Hisyam
bin Abd al-Malik (105-125 H).
Sesuai dengan uraian diatas,
pemikiran yang menonjol dari aliran ini adalah soal perbuatan manusia dan
kekuatan Tuhan. Dalam pandangannya, manusia mempunyai kebebasan untuk
menentukan perbuatannya serta melakukan perbuatannya itu. Dan di akhirat mereka
harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan itu. Sejalan dengan pemikirannya ini,
mereka berpendapat bahwa Tuhan telah memberikan daya kepada manusia, serta
memberikan aturan-aturan hidup yang sangat jelas dengan berbagai akibatnya. Ada
perbuatan-perbuatan baik yang akan memberi mereka imbalan pahala dan
kebahagiaan akhirat, dan ada pula perbuatan-perbuatan jahat dan ancaman siksaan
mereka bagi yang melanggarnya.
Daya yang diberikan Tuhan itu
kemudian menjadi milik manusia sendiri untuk mereka gunakan melakukan berbagai
perbuatan. Kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan baik sesuai petunjuk
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan. Dan
sebaliknya, kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan buruk, maka
mereka harus mempertanggung jawabkan semua
perbuatannya itu. Inilah yang
kemudian disebut dengan konsep keadilan Tuhan.
Pemikiran mereka ini mempunyai
landasan yang cukup kuat antara lain firman Allah dalam Surat Al-Kahfi ayat 29
yang
Artinya : “Barang siapa
mengehendaki (untuk menjadi orang berimab) maka berimanlah, dan barang siapa
menghendaki (untuk menjadi orang kafir) maka kafirlah”.
Ungkapan senada juga dikemukakan Allah
dalam Surat Al-Ra’du ayat ke-11 yang
Artinya:“Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah keadaan suatu masyarakat bila mereka sendiri tidak melakukan
perubahan apa-apa terhadap dirinya.
Dengan demikian, aliran qadariyah
merupakan suatu aliran ilmu kalam yang menekankan kebebasan manusia dalam
melakukan perbuatannya, dan mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
itu di sisi Allah kelak di hari perhitungan. Mereka yang berprestasi dalam
melakukan amal kebajikan akan memperoleh imbalan pahala di dalam surga,
sementara yang justru banyak melakukan perbuatan jahat, serta kurang
berprestasi dalam melakukan perbuatan baik, akan terkena ancaman siksa di dalam
neraka. Posisi manusia di surga atau neraka tersebut, menurut aliran ini sangat
tergantung pada perbuatannya selama hidup di dunia ini.
Pemikiran-pemikiran qadariyah ini
kemudian diikuti den diteruskan oleh para penganut aliran mu’tazilah, khususnya
pada aspek pemikiran mereka tentang perbuatan manusia, dan kekuasaan mutlak
Tuhan. Yakni bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendak serta
perbuatannya, namun mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di
hadapan Tuhan. Aliran mu’tazilah meneruskan pemikiran qadariyah mi, karena
aliran terakhir ini mempunyai kecenderungan yang sama dalam memahami
ajaran-ajaran aqidah, terutama dalam aspek-aspek yang boleh berbeda pendapat,
yaitu pada ajaran-ajaran yang dikemukakan dengan lafal zhanni Aliran qadariyah
dan mu’tazilah sama-sama menganut aliran rasional dalam pemahaman kalam mereka.
5.
Lahirnya Aliran Jabariyah
Kalau qadariyah lahir seiring dengan
lontaran-lontaran kritik terhadap kekejaman Daulah Banu Umayah, maka Jabariyah
sebaliknya, aliran ini lahir bermula dari ketidak berdayaan dalam menghadapi
kekejaman mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan mengembalikan semuanya atas kehendak
dan kekuasaan Tuhan. Kemudian isu keagamaan ini dipegang oleh mu’awiyah sendiri
untuk membenarkan perlakuan-perlakuan politiknya itu. Oleh sebab itu masa
kelahirannya sebenarnya berbarengan dengan kelahiran qadariyah. Namun pada masa
munculnya, yang dipelopori oleh Ja’ad bin Dirham, pemikiran kalam ini belum
berkembang. Dan menjadi satu aliran yang punya pengaruh serta tersebar di
masyarakat setelah dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan (W.131 H). Oleh sebab
itu, aliran ini sering juga disebut aliran Jahmiyah.
Dilihat dari segi pemikiran
kalamnya, aliran Jabariyah bertolak belakang
dengan qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya adalah
dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau
siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Faham bahwa yang
dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya
pahala dan siksa.
dengan qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya adalah
dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau
siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Faham bahwa yang
dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya
pahala dan siksa.
Menurut faham ini, manusia tidak
hanya bagaikan wayang, yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak
mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sementara
nasib mereka di akhirat sangat ditentukan oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Yakni posisi mereka ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Pemikiran-pemikiran
kalam dari aliran Jabariyah ini kemudian banyak diserap oleh aliran Asy’ariyah,
karena keduanya sama-sama memiliki kecenderungan untuk mengikuti aliran
tradisional, yakni aliran ilmu kalam yang kurang menghargai kebebasan manusia, serta
kurang melakukan pendekatan logika nalar dalam pemikiran kalam mereka.
6.
Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Lahirnya aliran teologi mu’tazilah
tidak terlepas dari perkembangan pemikiran-pemikiran ilmu kalam yang sudah
muncul sebelumnya. Aliran ini lahir berawal dari tanggapan Washil bin Atha’
salah seorang murid Hasan Bashri di Bashrah, alas pemikiran yang dilontarkan
khawarij tentang pelaku dosa besar. Ketika Hasan Bashri bertanya tentang
tanggapan Washil terhadap pemikiran khawarij tersebut, dia menjawab bahwa para
pelaku dosa besar bukan mukmin dan juga bukan kefir. Mereka berada dalam posisi
antara mukmin dan kafir (orang fasik). Kemudian Washil memisahkan diri dari
jamaah Hasan Bashri, dan gurunya itu secara spontan berkata Ttazala ‘anna”
(Washil memisahkan diri dari kita semua). Karena itulah kemudian pemikiran yang
dikembangkan Washil menjadi sebuah aliran yang oleh anggota jamaah Hasan Bashri
dinamai dengan “mu’tazilah”.
Kelompok ini kemudian mengembangkan
diri dengan memperkaya wawasan keilmuannya melalui penelaahan mendalam terhadap
literatur-literatur Yunani yang berada di pusat-pusat studi gereja timur, yaitu
Antochia, Jundisaphur dan Alexandria. Langkah-langkah kieatif tersebut, mereka
lakukan dalam rangka menghadapi serangan-serangan logika kelompok Kristen
terhadap teologi Islam dan kemudian menghasilkan suatu format pemikiran ilmu
kalam yang lebih cenderung menggunakan pendekatan berpikir filsafat, sehingga
aliran ini kemudian terkenal dengan aliran kalam rasional.
Sebenarnya mereka sendiri
menanamkan dirinya sebagai ahlu at-tauhid (menjaga ke-Esa-an Allah) dan ahlu
al-’adl (mempercayai dan meyakini penuh akan keadilan Tuhan), karena
rumusan-rumusan pemikiran kalamnya itu benar-benar menjaga kemurnian tauhid dan
prinsip keadilan Tuhan. Dan ajaran-ajaran pokoknya itu tertuang dalam rumusan
“Mabadi al-Khamsah” (lima dasar ajaran), yaitu al-Tauhid, al-’adlu, al-wa’du wa
al-wa’id, al-manzilah baina al-manzilatain, serta amar ma’ruf nahi munkar.
At-tauhid artinya mengesakan Allah,
yakni Allah itu benar-benar Esa dalam segala-galanyb, tidak ada sesuatu pun
yang dapat menandingi ke-Esa-annya itu. Sehubungan dengan prinsip Tauhidnya
itu, mu’tazilah menafikan sifat, karena merupakan sesuatu yang berada di luar zat.
Kalau ada sifat berarti ada dua yang qadim yaitu zat dan sifat. Untuk
menghindari pemikiran yang akan membawa kepada kemusyrikan tersebut, mereka
nafikan sifat Tuhan, dan seterusnya mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu
adalah zat Tuhan sendiri. Kemudian untuk menjaga prinsip, ketauhidannya itu,
Mu’tazilah juga berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk, karena kalau bukan
makhluk akan ada qadim lain selain Allah.
Sedangkan al-’adlu adalah suatu
prinsip yang mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Adil, Dia akan memberikan imbalan
pahala dan jaminan kebahagiaan bagi orang yang tidak berprestasi dalam
melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dan dia tidak akan, menyiksa orang-orang
shahih. Seiring dengan prinsip keadilannya itu, maka Allah sudah menetapkan
janji dan ancaman senada yang akan dipatuhi-Nya sendiri. Akan tetapi, prestasi
keagamaan setiap orang itu pasti berbeda, bisa saja ada orang mukmin yang
kelakuannya seperti orang kafir. Inilah yang mereka sebut sebagai orang fasik,
yang menempati posisi antara mukmin
dan kafir.
dan kafir.
Sedang di akhirat nanti mereka akan
tetap memperoleh siksa atas perbuatan-perbuatan dosanya, namun siksanya tidak
sama dengan siksaan orang kafir Untuk menghindari posisi ini, dan agar semua
orang menjadi orang baik, maka mereka mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar
sebagai wajib ‘ain. Dengan demikian kelima dasar ajaran rnu’tazilah ini
merupakan suatu rangkaian logis, yang satu sama lain mempunyai keterkaitan.
Aliran teologi mu’tazilah ini
menjadi aliran resmi di Daulah Bani Abbasiah pada zaman pemerintahan al-Makmun
(198-218 H), dan dua khalifah sesudahnya, Mu’tashim (218-227 H) dan
al-Wasiq (227-232 H). Namun dihancurkan kembali oleh al-Mutawakil pada tahun
234 H, sehingga kekuatan aliran ini kembali lemah dan diganti kemudian dengan
aliran Asy’ariyah yang lebih terkenal dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah.
Kesimpulan dari pokok-pokok Mu’tazilah adalah sebagai berikut: Aliran
Mu’tazilah memiliki lima ajaran pokok yaitu :
1.
Tauhid (Keesaan Allah SWT)
Terkait hal ini mu’tazilah
berpendapat, antara lain :
·
Mengingkari sifat-sifat Allah SWT, menurut Kaum Mu’tazilah apa yang
dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
·
Al-Qur’an me.nurutnya adalan makhluk (baru);
·
Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indra manusia,
karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata
karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata
2.
Keadilan Allah SWT
Setiap orang Islam harus percaya
akan keadilan Allah, tetapi aliran mu’tazilah, memperdalam arti keadilan serta
menunjukkan batas-batasnya, sehingga menimbulkan beberapa masalah. Dasar
keadilan yang diyakini oleh kaum Mu’tazilah adalah meletakkan
pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya. Dalam menafsirkan keadilan
tersebut mereka mengatakan sebagai berikut :
“Tuhan tidak menghendaki keburukan,
tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan
perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, dengan kekuasaan
yang diciptakan-Nya terhadap diri manusia. la hanya memerintahkan apa yang
dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya
dan tidak campur tangan dalam keburukan yang dilarang-Nya.
Aliran ini berpendapat bahwa Allah
akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan apa yang diperbuat
manusia. (Mulyadi, 2005, hal. 108)
3.
Janji dan Ancaman
Aliran mu’tazilah berpendapat, bahwa
Allah tidak akan mengingkari janji-Nya; memberi pahala kepada orang muslim yang
berbuat baik, dan menimpakan azab kepada yang berbuat dosa (Mulyadi, 2005, hal.
108)
4.
Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini, Washil bin ‘Atha
memisahkan diri dari majlis Hajsan Bashri, seperti yang disebutkan di atas.
Menurut pendapatnya,, seseorang muslim yang mengerjakan dosa besar ia tergolong
bukan mukmin tetapi juga tidak kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi
kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”. Tingkatan
seorang fasik berada di bawah orang mukmin dan diatas orang kafir.
Jalan tengah ini kemudian berlaku
juga dalam bidang-bidang lain. Jalan tengah ini diambil oleh aliran mu’tazilah
dari sumber-sumber agama Islam, yaitu:
a)
Al-Qur’an : banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan dan memuji
untuk mengambil jalan tengah seperti (QS. Al-Isra’: 31) “Jangan engkau
jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan Jangan pula terlalu
membeberkannya seluruhnya”. Ia juga menggunakan argument (QS. Al-
Baqarah: 137).
untuk mengambil jalan tengah seperti (QS. Al-Isra’: 31) “Jangan engkau
jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan Jangan pula terlalu
membeberkannya seluruhnya”. Ia juga menggunakan argument (QS. Al-
Baqarah: 137).
b)
Al-Hadits : seperti (sebaik-baiknya perkara ialah yang berada di tengah-
tengah) (Mulyadi, 2005, hal 109)
tengah) (Mulyadi, 2005, hal 109)
5.
Amar makruf dan nahi mungkar
Ajaran mu’tazilah mengenai tuntutan
untuk berbuat baik dan mencegah segala perbuatan yang tercela ini lebih banyak
berkaitan dengan fiqh.
Kelima prinsip tersebut merupakan
dasar utama yang harus dipegang oleh setiap orang mu’tazilah dan hal ini sudah
menjadi kesepakatan mereka. Akan tetapi mereka berbeda-beda pendapat dalam
soal-soal kecil dan terperinci. ketika memperdalam pembahasan kelima prinsip tersebut
dan menganalisanya dengan didasarkan atas pikiran filsafat Yunani dan
Iain-lain. Karena itu sebenarnya pemikiran aliran mu’tazilah sangat beragam.
sebagaimana halnya dengan bermacam-macam aliran filsafat, seperti Stoic,
Epicure. Phytagoras, Neo-Platonismc dan sebagainya, yang k9semuanya disebut
filsafat Yunani. (Mulyadi, 2005, hal 109)
7.
Lahirnya Aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Aliran ini dilahirkan dan
dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) pada tahun 300 H di Baghdad.
Abu Hasan al-Asy’ari sendiri pada awalnya adalah seorang pengikut aliran
teologi Mu’tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran
kalam mu’taziiah, terutama karena kaberanian mu’tazilah dalam mena’wilkan
ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika teologi mereka, sehingga
pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam
membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin
aqidahnya.
Karena keraguannya itulah, pada
usianya yang ke-40 al-Asy’ari yang menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan
mengembangkan pemikiran teologi sendiri, dengan memperbanyak penggunaan
al-Sunnah dan membatasi penggunaan logika filsafat dalam pemikiran
kalamnya itu. Karena membatasi penggunaan logika filsafat dan memperbanyak
penggunaan al-Sunnah, maka pemikiran-pemikiran kalam Abu Hasan mudah
dipahami oleh orang banyak, dan memperoleh pengikut serta pendukung yang cukup
besar. Sejalan dengan itu, aliran teologinya ini disebut dengan Ahlus Sunah
wal Jama’ah artinya aliran kalam yang banyak menggunakan al-Sunnah dalam
perumusan-perumusan pemikiran kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup
besar (wal jama’ah) dari kalangan masyarakat, khususnya dari lapisan yang tidak
mampu menjangkau pemikiran kalam rasional yang diperkenalkan aliran mu’tazilah
dan aliran juga sering disebut asy’ariyah karena dinisbitkan pada tokohnya.
Berbagai pemikiran kalam yang
dikemukakan mu’tazilah dia kritisi habis. Seperti tentang sifat. Dia katakan
Tuhan itu mempunyai sifat, karena kalau sifat-sifat itu dikatakan sebagai zat
seperti yang dikemukakan mu’tazilah, maka akan terjadi kerancuan yang sangat
besar. Seperti tentang “ilmu”, kalau ilmu (pengetahuan) dijadikan sebagai zat
dan bukan sebagai sifat, maka Tuhan itu adalah ilmu atau pengetahuan. Padahal
Tuhan adalah Allah Yang Maha Tahu, bukan ilmu atau pengetahuan itu sendiri.
Demikian pula dengan al-Qur’an,
menurutnya kitab suci ini qadim karena al-Qur’an itu kalam Allah, maka
posisinya sama seperti pemilik kalam. Kalau Allah qadim, maka kalam-Nya pun
qadim. Disamping itu, keyakinan bahwa AI-Qur’an itu makhluk juga akan
dihadapkan dengan kerancuan logika berpikir, karena Allah menciptakan
makhluk-Nya ini dengan kata-kata “kun”. Dan kalau kata “kun” sendiri sudah
makhluk make perlu “kun” yang lain untuk menciptakannya, dan begitulah
seterusnya tanpa ada akhir, sehingga terjadi lingkaran logika yang tidak
berujung (tasalsul).
Kemudian ayat-ayat mutajasimah yang
dita’wilkan Mu’tazilah, dia bahwa pada pengertian lafalnya, hanya saja tidak
bisa diidentifikasikan seperti kata Yadullah, yang diartikan mu’tazilah sebagai
kekuasaan Allah, Abu Hasan menafsirkannya dengan tangan Allah. Hanya saja dia
tidak bisa mengidentifikasikan bentuk tangan-Nya itu, sehingga dia mengatakan
bahwa Allah itu bertangan namun tangan-Nya itu tidak bisa diidentifikasi (layukayyaf).
Demikian pula dengan ayat-ayat mutajasimah lainnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di
atas, aliran teologi ini, mulai berkembang tahun 300 H, dan mempunyai pengaruh
pada pemerintahan Abbasiah, bahkan untuk seterusnya sampai kini, pada umumnya
umat Islam di dunia termasuk di Indonesia menganut aliran teologi ini, walaupun
sebahagian kalangan intelektual muslim sudah mudah keluar dari doktrin-doktrin
Asy’ariyah dan memasuki aliran kalam rasional.
Adapun pokok-pokok pikiran golongan
ahlu sunnah wal jama’ah dapat disimpulkan sbb:
1)
Sifat Tuhan
Pendapat Al-Asy’ari dalam soal sifat
Tuhan terletak di tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah di satu pihak rian
aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain pihak. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui
sifat-sifat wujud, qidam, baqa dan wahdaniah (Ke-Esa-an). Sifat zat yang lain,
seperti sama’, bashar dan lain-lain tidak lain hanya zat Tuhan sendiri.
Golongan Hasywiah dan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan
sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Allah yang tersebut sesuai
dengan zat Allah sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk.
Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar. Allah dapat
melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.
2)
Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini
juga tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran Mu’tazilah. Menurut aliran
Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan
yang diberikan Allah kepadanya. Menurut aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa
mengadakan atau menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu
bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian kemari menurut arah angin yang
meniupnya. Datanglah Al-Asy’ari dan mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa
menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu
perbuatan.
3)
Melihat Tuhan pada hari Qiyamat
Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan demikian, mereka menakwilkan
ayat-ayat yang mengatakan ru’yat, disamping menolak hadits-hadits Nabi yang
menetapkan ru’yat Karena tingkatan hadits tersebut mereka adalah hadits ahad
(hadits perseorangan). Menurut golongan Musyabihat, Tuhan dapat dilihat
dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Dengan menempuh jalan tengah
antara kedua golongan tersebut, Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat
di akhirat kelak.
4)
Dosa besar
Aliran Mu’tazilah mengatakan,
apabila pembcat dosa besar tidak bertobat dan dosanya itu, meskipun ia
mempunyai iman dan kataatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran Murji’ah
mengatakan, siapa yang iman kepada Tuhan dan mengiklilaskan diri kepada-Nya,
maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi
imannya, artinya tetap dipandang sebagai orang mukmin.