ABU DZAR AL
GHIFARI
Abu Dzar Al Ghifari tergolong sahabat
Rasulullah SAW yang unik. Nama asalnya Jundub bin Junadah. Dia berasal dari
Suku Ghifar di bukit Waddan, dekat Kota Mekkah, dan besar dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat yang sangat memuja berhala. Namun, sejak kecil dan
belum mengenal Islam, dia sudah menjadi penentang pendewaan terhadap berhala.
Alasannya, menyembah berhala merupakan kepercayaan yang tidak masuk akal.
Berhala hanyalah batu-batu besar hasil pahatan tangan manusia yang dijadikan
Tuhan. Menurutnya, tidak mungkin benda mati itu setiap saat bisa menolong para
penyembahnya.
Abu Dzar termasuk
pemuda pemberani, cerdas dan berpandangan jauh. Di pinggangnya selalu
tergantung sebuah pedang panjang yang tajam untuk merampok. Dia pertama kali
bersentuhan dengan nama Islam ketika mendengar kabar bahwa di Mekkah ada
seorang pria yang mengaku dirinya nabi. Dia berharap, pria itu kelak bisa
mengubah hati, pikiran, kepercayaan, dan jalan hidup sukunya dari lorong
kegelapan, terutama untuk dirinya. Dia kemudian meminta Anis, adiknya, untuk
segera pergi ke Mekkah, mencari kebenaran berita itu. Anis mengikuti perintah
kakaknya dan dapat berjumpa Rasulullah.
Selang beberapa
hari, Anis kembali ke kampungnya. Dia menyampaikan kepada Abu Dzar apa yang
dilihat dan didengarnya di Mekkah. Anis menyimpulkan, pria yang ditemuinya
adalah sosok yang rendah hati, bersahaja, dan kalimat yang meluncur dari
mulutnya bukanlah puisi atau syair yang dibuat manusia. Mendengar hal tersebut,
Abu Dzar sangat tertarik dan memutuskan untuk melihat sendiri ke Mekkah.
Tetapi, Anis memperingatkannya untuk berhati-hati terhadap orang Mekkah yang
membenci pria bernama Muhammad itu.
Abu Dzar Tidur di
Dekat Kabah
Di Mekkah, karena tak memiliki tempat
tinggal dan tidak ada saudara, Abu Dzar memilih tidur di dekat Kabah yang
lapang. Dia tidak tahu jika tempat itu menjadi tempat peribadatan kaum muslim.
Suatu malam, ketika tengah tertidur, Ali bin Abi Thalib berjalan melewatinya.
Menyadari orang yang dilaluinya orang asing, Ali membangunkan dan mengajaknya
menginap di rumahnya. Abu Dzar menuruti derap langkah kaki Ali, tanpa
menanyakan nama atau identitas orang yang telah berbaik hati kepada dirinya.
Keesokan hari, Abu Dzar kembali ke
lingkungan Kabah, mencari tahu orang yang bernama Muhammad. Anehnya, dia tidak
berkata atau bertanya kepada siapapun. Alhasil, hingga sinar matahari
menghilang dan berganti cahaya rembulan, dia tidak bertemu Muhammad. Rupanya
dia tidak putus asa. Malamnya, dia kembali tidur di dekat Kabah. Ali bin Abi
Thalib yang melihatnya kali kedua kembali mengajaknya menginap di rumahnya.
Meski demikian, keduanya tidak berbicara satu huruf pun.
Esok harinya, Abu
Dzar kembali lagi ke pelataran Kabah. Misi utama dan caranya sama seperti hari
kemarin. Lagi-lagi usahanya kandas dan dia tidur di dekat Kabah. Ali bin Abi
Thalib yang mengetahui ketiga kalinya, saat itu tidak mengajaknya menginap di
rumahnya. Ali menanyakan jatidiri dan tujuannya datang ke Mekkah. Abu Dzar
pintar, dia terlebih dahulu memberikan persyaratan kepada Ali supaya Ali mau
membantu agar harapannya terwujud. Ali menyepakati. Abu Dzar menyatakan,
dirinya ingin bertemu Muhammad, seorang nabi. Mendengar hal tersebut, seketika
wajah Ali berubah cerah. Akhirnya malam itu Abu Dzar tidur di rumahnya. Perasaannya
sungguh gembira, sampai tak dapat memejamkan mata hingga mentari pagi
menjemputnya.
Abu Dzar Bertemu
Rasulullah SAW
Hari beranjak
siang. Ali bin Abi Thalib menepati janjinya. Dia mempertemukan Abu Dzar dengan
Rasulullah. Betapa berbinarnya wajah Abu Dzar. Senyumnya tak henti-henti
mengembang. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih kepada Ali. Dia menceritakan
keadaan diri dan kampungnya di hadapan Rasulullah. Rasulullah lantas membacakan
beberapa ayat Al-Quran. Beberapa menit berikutnya, Abu Dzar mengucapkan dua
kalimat syahadat dan telah menjadi seorang muslim.
Sejarah Islam
mencatat, Abu Dzar termasuk salah satu sahabat yang pertama kali masuk Islam.
Setelah itu, dia menetap bersama Rasulullah di Mekkah. Dia belajar Islam dan
Al-Quran dengan penuh semangat. Rasulullah meminta Abu Dzar untuk tidak
mengumumkan keyakinan barunya kepada orang Quraisy. Hal ini dikhawatirkan dia
akan mendapat ancaman, teror dan siksaan dari mereka. Namun mengingat wataknya
yang keras, Abu Dzar menegaskan: ”Demi Allah yang ditangan-Nya nyawaku berada,
aku tidak akan meninggalkan Mekkah sampai aku pergi menuju Kabah dan menyatakan
kebenaran kepada bangsa Quraisy.” Rasulullah diam saja.
Abu Dzar
Mengislamkan Dua Suku
Pernyataan Abu
Dzar di hadapan Rasulullah rupanya bukan sekadar gertak sambal. Di tengah
kerumunan warga Quraisy di dekat Kabah, dia berani memproklamirkan dirinya
telah bersyahadat. Mendengar hal itu, mereka menjadi sangat marah. Seketika
beramai-ramai memukuli Abu Dzar dan bermaksud membunuhnya. Beruntung, paman
Rasulullah bernama Abbas bin Abdul Muttalib berhasil menyelematkannya. Menurut
Abbas, daerah asal Abu Dzar adalah kawasan yang sering dilewati rombongan
dagang penduduk Quraisy. Daripada nanti orang-orang di kampungnya membalas
tindakan ini, tambah Abbas, sebaiknya Abu Dzar dibebaskan.
Setelah mendengar
laporan peristiwa tersebut, Rasulullah menyarankan supaya Abu Dzar kembali ke
tanah kelahirannya. Abu Dzar diminta menyebarkan apa yang pernah diajarkan
Rasulullah. Kali ini Abu Dzar patuh. Ketika sudah sampai rumah, dia terkejut
campur gembira, lantaran adiknya sudah beralih ke agama Islam. Kakak beradik
itu lantas mengajak Ibunya segera bersyahadat. Perjuangannya dalam berdakwah
tidak sia-sia. Dalam tempo cepat, seluruh saudara dan warga Suku Ghifar yang
hidup serba kekurangan serta Suku Aslam –kampung tetangganya– sudah mengakui
kenabian Muhammad dan Tuhannya bukan lagi berhala, melainkan Allah SWT.
Abu Dzar kembali
menemui Rasulullah. Dia meminta izin untuk melayani dan selalui menemani
Rasulullah. Permintaannya dikabulkan. Dia senang bukan kepalang. Lelaki jujur
dan setia itu pun ikut hijrah (pindah) bersama Rasulullah ke Madinah. Beberapa
waktu setelah Rasulullah wafat, dia pindah ke Suriah, menetap di Damaskus, lalu
kembali lagi ke Madinah. Dia sangat prihatin dan memprotes melihat perilaku
orang Islam yang senang bermewah-mewahan. Menurut Abu Dzar, kehidupan mereka
sudah melenceng dari ajaran dan gaya hidup Rasulullah.
Sementara itu,
Abu Dzar hidup mulia dalam kesederhanaan dan lebih memikirkan kehidupan
akhirat. Di rumahnya tidak ada barang berharga apapun. Tetapi tidak sedikit
orang yang menghormatinya. Satu waktu, dia pernah dikasih uang banyak oleh
seorang pejabat tinggi negara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, uang
itu segera dikembalikan dan menyarankan kepada pejabat agar memberikannya
kepada orang yang lebih membutuhkan darinya. Abu Dzar Al Ghifari meninggal
dunia pada tahun 32 hijriyah, tanpa mewariskan harta satu dirham pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar